Surat Untuk Firman
Kawan, kita sebaya. Hanya bulan yang membedakan usia. Kita tumbuh di tengah sebuah generasi dimana tawa bersama itu sangat langka. Kaki kita menapaki jalan panjang dengan langkah payah menyeret sejuta beban yang seringkali bukan urusan kita. Kita disibukkan dengan beragam masalah yang sialnya juga bukan urusan kita. Kita yakni anak-anak muda yang dipaksa renta oleh televisi yang tiada henti mengabarkan kebencian. Sementara adik-adik kita tidak tumbuh sebagaimana mestinya, narkoba politik uang membunuh nurani mereka. Orang bau tanah, pendahulu kita dan mereka yang memegang tampuk kekuasaan yaitu generasi gagal. Suatu generasi yang hidup dalam bayang-bayang rencana yang mereka khianati sendiri. Kawan, akankah kita berhenti lantas mengorbankan diri kita untuk menjadi mirip mereka?
Di negeri permai ini, cinta hanyalah kata-kata sementara benci menjadi kenyataan. Kita tidak pernah mengasihi apapun yang kita lakukan, kita hanya ingin mendapatkan kesannya dengan cepat. Kita tidak mensyukuri berkah yang kita dapatkan, kita hanya ingin menghabiskannya. Kita enggan menyebarkan kebahagiaan, alasannya adalah kemalangan orang lain adalah sumber utama kebahagiaan kita. Kawan, inilah kenyataan memilukan yang kita hadapi, alasannya kita hidup tanpa cinta maka bahagia bersama menjadi langka. Bayangkan adik-adik kita, lupakan mereka yang renta, bagaimana mereka bisa tumbuh dalam keadaan demikian. Kawan, cinta yakni masalah kegemaran. Cinta juga dilema prinsip. Bila kamu menyayangi sesuatu maka kamu tidak akan peduli dengan yang lainnya. Tidak kepada poster dan umbul-umbul, tidak kepada para kriminal yang suka mencuci muka apalagi kepada kuli kamera yang menimbulkan kolera. Cinta ialah kesungguhan yang tidak dibatasi oleh menang dan kalah.
Hari-hari belakangan ini keadaan tampak semakin tidak menentu. Keramaian puluhan ribu orang antre tidak menerima tiket. Jutaan orang lantang bersuara demi sepakbola. Segelintir elit menyiapkan rencana jahat untuk menghancurkan kegembiraan rakyat. Kakimu, mitra, telah memberi makna solidaritas. Gocekanmu mitra, telah mengundang tarian massal tanpa saweran. Terobosanmu, mitra, menghidupkan cita-cita kepada adik-adik kita bahwa periode depan itu masih ada. Tendanganmu kawan, membuat orang-orang percaya bahwa kata “bisa” belum punah dari kehidupan kita. Tetapi inilah buruknya hidup di tengah bangsa yang frustasi, semua beban diletakkan ke pundakmu. Seragammu hendak dipakai untuk mencuci dosa politik. Kegembiraanmu hendak dipunahkan oleh iming-iming bonus dan hadiah. Di Bukit Jalil kemarin, ada yang menyampaikan kamu terkapar, tetapi saya percaya kau tengah mencar ilmu. Di Senayan esok, mereka bilang kau akan membalas, tetapi saya berharap kamu cukup bermain dengan besar hati.
Firman Utina, kapten tim nasional sepak bola Indonesia, bermain bola lah dan tidak usah memikirkan apa-apa lagi. Sepak bola tidak ada urusannya dengan garuda di dadamu, alasannya simbol hanya akan menggerus kegembiraan. Sepak bola tidak urusannya dengan harga diri bangsa, sebab harga diri tumbuh dari perilaku dan bukan harapan. Di lapangan kamu tidak mewakili siapa-siapa, kau memperjuangkan kegembiraanmu sendiri. Di pinggir lapangan, kau tidak perlu menoleh siapa-siapa, kecuali Tuan Riedl yang percaya sepak bola bukan dagangan para pecundang. Berlarilah Firman, Okto, Ridwan dan Arif, seolah-olah kalian ialah kanak-kanak yang tidak mengerti urusan orang akil balig cukup akal. Berjibakulah Maman, Hamzah, Zulkifli dan Nasuha seakan-akan kalian mempertahankan kegembiraan yang hendak direnggut lawan. Tenanglah Markus, gawang bukan semata-mata masalah kebobolan tetapi persoalan kegembiraan membuyarkan impian lawan. Gonzales dan Irvan, bersikaplah layaknya orang aneh yang memberikan pola kepada bangsa yang miskin pola.
Kawan, saya berbicara tidak mewakili siapa-siapa. Ini hanyalah surat dari seorang pengolah kata kepada seorang penggocek bola. Sejujurnya, kami tidak mengharapkan Piala darimu. Kami hanya menginginkan kegembiraan bersama dimana tawa seorang tukang becak sama bahagianya dengan tawa seorang pemimpin Negara. Tidak, kami tidak butuh piala, bermainlah dengan bangga sebagaimana biasanya. Biarkan bola mengalir, menarilah kawan, urusan gol seringkali masalah keberuntungan. Esok di Senayan, kabarkan kepada seluruh bangsa bahwa kebahagiaan bukan urusan menang dan kalah. Tetapi kebahagiaan bersumber pada cinta dan solidaritas. Berjuanglah layaknya seorang pria, mitra. Adik-adik kita akan menjadikan kalian contoh!
=================================================
Supported by Indonesian Online Blog
=================================================
Comments
Post a Comment